![]() |
image from: www.wallpaperxy.com |
We’ve spent a lot of time and energy building up an identity: “I am this nationality. I am this religion. I am this
socio-economic class. I am this educational status. I have these interests. I am this racial group. I am this ethnic group. I am this gender. I am this sexual orientation. I like these hobbies. I don’t like these kinds of people. These are my political views, etc”.
We mistakenly think that all these identities are who we are—that they are permanent and exist with their own essence. But at the time of death, consciousness moves out of this body and the whole thing crumbles. Being aware of our mortality makes us ask ourselves what is important in life.
(Thubten Chodron, "37 Practices of Bodhisattvas")
Kesadaran, tamu yang akan meninggalkan tubuh yang bertindak sebagai rumah singgah
Kita menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk membangun sebuah identitas: "Saya berkebangsaan ini. Saya beragama ini. Saya berasal dari kelas ekonomi ini. Saya berstatus pendidikan ini. Minat saya di sini. Saya berasal dari grup dengan ras ini. Saya berasal dari grup dengan etnis ini. Saya berjenis kelamin ini. Saya memiliki orientasi seksual seperti ini. Saya memiliki hobi ini. Saya suka dengan orang seperti ini. Ini adalah pandangan politik saya, dan seterusnya".
Kita berpikir dengan salah bahwa semua identitas yang menggambarkan siapa diri kita -- bahwa semua itu bersifat selamanya dan memiliki eksistensi sendiri. Tetapi pada saat kematian, kesadaran berpindah keluar dari tubuh ini dan seluruh hal akan hancur. Sadar akan kematian membuat kita bertanya kepada diri kita sendiri apa yang penting dalam hidup ini.
(Thubten Chodron, "37 Praktik Bodhisattwa")
No comments:
Post a Comment